Selasa, 18 Maret 2014

Experience as Interviewer at Solo-Jogja Best Brand Index: Best Moment Perumnas Palur

Hola world…

    Oya, kemarin saya sempat janji ya untuk menceritakan best moment yang mengharukan saat terjun langsung sebagai pewawancara riset SBBI? Haha lama banget ya saya meninggalkan janji saya itu? Berbagai alasan pasti akan saya ungkapkan nih untuk menutupi “kesalahan” saya. Hehe, yaudah yuk dari pada makin penasaran, kita lanjutin ceritanya. Sekarang. Ya sekarang. *aduh berasa ada yang baca sih ya?* 

Cerita ini berawal dari pencarian responden terakhir di daerah Palur.
 
    Sore itu, sehabis hujan besar, jalanan masih terasa basah, hawanyapun lumayan sejuk, saya, seperti biasa, loncat dari rumah satu ke rumah lainnya. Sebelumnya saya habis menyelesaikan tugas saja di rumah tante yang baik hati, jadi dengan semangat saya mencari target selanjutnya. Nah, kebetulannya itu saya ditolak oleh seorang ibu-ibu yang jarak rumahnya sesuai dengan panduan “rute SBBI’. Terpaksalah saya menghampiri rumah yang ada di sebelah kirinya. Rumahnya memang berbeda dengan responden-responden saya yang sebelumnya. Agak tua, dan terlihat “tidak rapi”. Saya bergumam, masuk kategori target saya nggak ya? Tapi kalau dilihat untuk beberapa variabel kuisioner *uopo* bisa-bisa aja sih.

     Yasudah, setelah bertengkaran hebat di dalam dada *hah? Lebay* saya memutuskan untuk masuk rumah tersebut. Saya memarkirkan motor *milik teman saya* lalu membuka pagar besi yang berwarna hijau tua, pagarnya memang tidak setinggi rumah lainnya. Masuklah saya ke halaman rumah yang tidak terlalu luas tapi ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan dan mengucapkan salam. Lalu saya mengamati seluruh sisi depan rumah. Di terasnya terlihat dua kursi tua yang terbuat dari jaring-jaring plastik *entahlah, tapi ini kursi tua sekali, sepertinya saya terakhir melihat benda tersbeut waktu SD*. Jendela depan rumah sangat lebar, hampir memenuhi tembok depannya, jadi saya bisa melihat beberapa perlengkapan dan peralatan rumah di dalamnya. Terlihat juga seonggok mesin jahit dan kain wara-warni yang menumpuk di atasnya. Mesin tersebut tepat berada di belakang jendela jadi terlihat jelas. Dari luar juga, saya melihat beberapa perabot tua, seperti televisi tua, meja dan kursi ruang tamu yang tua, almari tua, dan dipan yang tampaknya tidak baru lagi. Wah, saya memiliki waktu observasi yang cukup lama ya? Iya, soalnya ketika saya mengucpakan salam dan mendodok pintu yang terbuka, saya tidak mendapat jawaban dalam waktu yang cukup lama.

    Sempat hampir putus asa dan meninggalkan rumah tersebut, muncullah sesosok makhluk kecil yang ganteng dan imut luar biasa. Saya lalu tanya, “Ibunya ada di rumah?”. Anak kecil itu mengiyakan keberadaan ibunya di rumah, lalu menjelaskan bahwa ibunya sedang mandi. Lalu anak lelaki berusia empat tahunan tersbeut berlari meuju belakang rumah. Saya lagi-lagi menunggu untuk waktu yang sedikit lama, agak membosankan dan hampir membuat saya “putus asa”. Secerca harapan muncul ketika ada seorang nenek tua, dengan perawakan cukup tnggi dan masih terlihat fit, muncul dari belakang rumah dan menghampiri saya. Awalnya saya agak sedikit takut, karena sebelum saya sempat mengenalkan diri, nenek tersebut bertanya dengan lagak sedikit tegas. *ciut sekali nyali saya*. Yasudah saya jawab saja pertanyaan nenek tersebut. Lambat laun saya pun merasa bahwa memang begini bawaan sang nenek. Saya mulai menjelaskan kedatangan saya ke rumah beliau, beliaupun yang tadinya agak dingin mulai menghangat. Saya rasa nenek tersebut memang tidak memenuhi kriteria sebagai responden. Tapi, saya memohon agar beliau berkenan memberikani zin saya untuk mewancarai putra-putranya. Namun, nenek tersebut segera menjelaskan bahwa anak dan menantunya itu bisu dan tuli. Saya agak lupa, tapi yang pasti sepasang suami istri tersebut bisu atau tuna wicara.

    Seketika saya langsung terbelalak kaget. Waduh. Saya langsung berpikir lebih keras. Hendak izin langsung pamit, saya pekewuh. Ya, akhirnya tetap memaksa untuk mencoba mewawancarai menantu perempuannya. *coba-coba peruntungan*. Selagi menunggu kehadiran sang menantu, saya menunggu sembari berbincang dengan sang mertua. Sore itu begitu syahdu, udaranya cukup sejuk untuk sore hari, lalu lalang kendaraan di jalanan depan rumah bakal calon responden saya ini pun sesekali menambah hangatnya perbincangan kami berdua. Pembahasan topik demi topik mengalir begitu saja, mulai dari cerita beliau yang sulit untuk menggunakan telepon selular, hingga proses bertemunya sang anak yang “special” dengan jodohnya yang “special” juga. Ya, anak lelakinya merupakan orang dengan kekkurangan secara fisik, begitu juga dengan sang istri. Mereka mempunyai dua orang anak yang masih kecil-kecil, yang besar perempuan sekitar kelas 1 SD dan yang kecil laki-laki berusia TK. Ketika di awal tadi saya menjelaskan bahwa dari jendela depan rumah ada sebuah meja jahit dan tumpukan kain di atasanya, ternyata meja tersebut adalah milik sang menantu. Mbak-mbak berusia sekitar 30 tahunan yang saya lupa namanya siapa. hehe. *wah iki salahnya saya banget, sudah ngefeaturenya lama banget, lupa lagi. yauda sih saya niatnya cuma cerita pengalaman secara bebas, non theoretic*. Ya, mbak-mbak yang sudah jadi ibu itu ternyata difabel. Tuna rungu dan tuna wicara. Saya jadi trenyuh banget ngeliatnya dan merasakan berada di tengah-tengah keluarga ini. Rasanya, saya perlu lebih bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang.

      Sebenarnya, ketika saya menunggu, sang Bapak dan anak putrinya baru pulang ke rumah. Bapaknya juga bisu, beliau baru saja menjemput sang putri mengaji. Ketika saya menawarkan Bapak untuk menjadi responden, sang Bapak menolak dengan lambaian tangan. Oya, kembali ke Ibunya ya. Ibunya sudah bersedia untuk saya wawancara, sedangkan nenek tadii langsung masuk ke dalam rumah. Ibu itu ditemani oleh putri kecilnya. Saya menjadi lebih terharu ketika pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan diartikan dengan bahsa isyarat oleh sang anak ke ibundanya. Dan sebaliknya, ketika sang ibu berbicara dengan bahasa isyarat, putri mungilnya itu menjelaskan kembali kepada saya. Maklumlah saya kan gatau bahasa isyarat. Sesekali sang ibu tertawa lebar kepada kami, sang anak pun membalas tawanya, begitu pula saya. Sore itu menjadi sangat hangat, seketika muncul pelangi di langit senja sehabis hujan.

    Beberapa saat saya berusaha untuk mendapatkan jawaban dari ibu tersebut, tapi apa daya. Meskipun memungkinkan, sulit rasanya untuk mendapatkan jawaban yang sesuai. Saya menyerah? Tidak! Di sini bukan persoalan menyerah atau tidak lagi! Bukan masalah dapat jawaban atau tidak. Namun, adanya perjuangan yang lebih berat dari pada secuil perjuangan saya di SBBI. Saya mudah sekali mengeluh saat itu, padahal baru seminggu bekerja. Hidup itu memang berat, tapi kalau kita menjalaninya dengan senyum ikhlas pasti akan terasa menyenangkan. Senyum-senyum ikhlas dari keluarga inilah yang membuat kebahagian selalu hadir ditengahnya, bukan kekurangannya yang menjadi boomerang. Saya memang tidak mendapat jawaban yang saya harapkan, sore itu, tapi saya mendapatka banyak pelajaran berharga. Saya mungkin hanya dianggap pekerja lapangan, tapi saya menemukan banyak pengalaman menarik yang harus saya ceritakan.

   *saya memutar ingatan kembali ke 3 bulan yang lalu* Yang saya cari adalah bagaimana cara saya berpamitan ya? Aduh... Hahaha. Gimana ya??? Yang saya ingat, sang nenek meminta maaf karena tidak dapat mendapat jawaban yang sesuai. Tapi saya tidak merasa bahwa saya pulang dengan tangan kosong. Bahkan memori di rumah keluarga itu yang paling membekas di pikiran dan hati saya. Ucapan salam saya akhirnya menutup pintu gerbang hijau dengan orang-orang yang luar biasa bersahaja di baliknya.

*Saya rasa ini adalah BEST MOMENT sepanjang saya menjadi petualang SBBI*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar