Senin, 22 Oktober 2012

tentang rasa syukur


Tak seperti biasanya, perasaanku malam ini membawaku ke ujung pelataran rumahku. Benar-benar ruyam pikiranku saat ini, walhasil pergilah aku untuk menghirup udara segar sembari sesekali melihat satu dua kendaraan berlalu lalang. Niatku memang benar untuk mengusir semua pikiran yang tiada hentinya mengacaukan otakku sehingga membuat perasaan tidak tentram, tetapi rongrongan motor dengan knalpot butut menambah emosiku. Anak muda sepantaranku itu memacu kemudinya dengan cengkraman maut sehingga menghasilkan suara jeritan serigala  malam kolaborasi knalpot bututnya. Diikuti beberapa teman dibelakangnya yang mengendarai kendaraan macam kendaraannya. Memperparah keadaan saja, gumamku. Sesekali mobil juga membelah jalanan di depanku, tidak kalah cepat dengan motor amburadul tadi. Sehingga menerbangkan dedauan dan debu-debu. Namun, ada saja yang membuatku semakin sejuk sesejuk udara malam ini. Dengan ditemani desiran angin yang membelai rambutku, terdengarlah bunyi genjotan sepeda dari arah kejauhan, dua orang saling berbincang dengan peluh sembari mengayuh sepedanya masing-masing. Terlihatlah dua orang paruh baya berwajah letih sehabis mencari sesuap nasi. Menakjubkan, pikirku. Entahlah apa yang membuatku berpikir seperti ini, tetapi tampaknya ini lebih baik daripada mendengarkan tikus-tikus yang berlarian di atas eternit kamarku. Gaduh! Beberapa saat kemudian seretan beberapa  langkah kaki juga melewati jalan arteri ini. Keadaan malam hari sunggguh berbeda ketika jalanan ini berada di bawah teriknya matahari. Ramai dan padat, jangankan seretan langkah kaki, motor berknalpot butut pun tidak terdengar suaranya. Teramat ramai ya jalan utama ini di pagi hari hingga menjelang sore ketika lembayung menghiasinya.
Tak jauh dari tempatku berdiri, ada setumpuk gumpulan sampah. Memang bukan tempat pembuangan akhir, hanya saja sampah-sampah rumah tangga yang biasanya akau buang di tempat itu. Tampak secerca cahaya putih muncul dari sana. Lalu kucermati dengan saksama, jangan-jangan itu bukanlah cahaya benda nyata! Pikiranku yang teramat penakut ini membuatku panik. Lalu samar-samar terdengar sampah yang sedang dipilah-pilah. Penglihatanku masih tajam walaupun di malam hari, terlihatlah seorang bapak berusia lanjut sedang mengais-ngais  barang-barang yang masih bermanfaat dari sampah rumah tangga yang terkumpul itu. Di sebelahnya ada sepeda tua yang berusia lebih muda dari bapak itu bersender di sebuah pohon penghias jalan. Sepedanya tampak sudah penuh oleh barang-barang hasil pilahan di tempat sampah lainnya, yang tersisa hanyalah sadel tempat ia duduk.
Secerca cahaya putih yang kulihat tadi merupakan harapan besar bagi bapak itu dan keluarganya. Dengan pelita kecil itu ia menelusuri satu tempat sampah ke tempat sampah lain demi mendapat barang-barang yang masih dapat digunakan. Barang-barang bekas yang merupakan sumber kehidupan bapak itu beserta keluarganya. tanpa letih dan rasa kantuk, seorang bapak terus berjuang. Malam hari, ketika jalanan pun enggan untuk bergejolak dan suasana jalanan yang sepi ini merupakan surga bagi orang yang hendak beristirahat, bapak masih terlihat gigihnya perjuangan seseorang demi kehidupan yang layak. Aku hanya tercengang melihatnya, takjub dan hilanglah semua pikiran runyamku tadi. Entah sengaja atau tidak, yang tadinya aku merasa tidak puas dengan hasil yang kudapat atas jerih payahku selama enam bulan ini karena beberapa yang lain berada di atasku, merasa tidak puas dengan kehidupanku ataupun atas pemberian orang tua kepadaku yang menurutku menjadi penghambat atas segala yang aku lakukan sehingga hasil yang aku dapatkan pun tidak maksimal, menjadi sadar dengan adanya sebuah kejadian di hadapanku. Yang terutama adalah rasa bersyukur tentang apa yang telah kita dapat karena sadar ataupun tidak ada yang jauh lebih tidak beruntung dari kita dan timbul juga rasa terimakasih kepada orang tua. Dulu aku tidak mengerti pernyataan orang tuaku jika hidup hendaklah selalu melihat ke bawah. Namun, kini aku mengerti jika kita melihat ke atas terus menerus timbullah rasa tidak puas dan tidak adanya rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Apapun ingin kita miliki, entah itu kebutuhan atau hanya sekadar keinginan belaka tanpa adanya rasa syukur setelah mendapatkannya. Berbeda halnya dengan apabila kita melihat ke bawah, maka rasa bersyukur akan timbul terus merus dan rasa tidak puas untuk berusaha lebih baik dari sekarang sehingga rasa syukur itu tidak pernah hilang. Rasa bersyukur juga dapat membuat kita lebih percaya diri dan membuat hidup lebih indah tentunya.
Pikiranku tentang rasa syukur membawaku jauh dari tempat aku berdiri sekarang. Beberapa detik yang lalu suara auman anjing milik tetangga sebelah membuyarkan semua lamunanku. Aku pun tersadar, sambil mengusap mataku aku kembali memperhatikan gundukan sampah yang sejajar dengan tempatku berdiri. Aku tambah tercengang, ketika aku tidak melihat seorang pun di sana. Ups, pikiranku kembali ke halusinasi ketakutanku. Aku pun menengok ke arah yang lebih jauh. Untung saja itu benar-benar manusia, dia telah menggenjot sepedanya beberapa langkah dari tempat sampah yang menjadi tempatnya bekerja. Tak terasa juga tetesan air dari langit membasahi rambutku. Hujan mengiringi akhir pertemuan kami yang singkat ini, ya walaupun berjauhan serta tidak bertegur sapa. Aku pun berlari tunggang langgang menuju tempat peraduanku menulis cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar